Kejahatan membayangi anak-anak perempuan di Tanah Air. Kasus terbaru, yang terjadi pada 2 Oktober 2025, sungguh menyayat hati. RTA, remaja perempuan berusia 14 tahun, ditemukan tak bernyawa di sebuah lahan kosong di belakang gedung TIKI Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Belakangan terungkap anak perempuan itu bekerja sebagai terapis di tempat usaha spa atau mandi uap di Pejaten. Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Selatan hingga kini menyelidiki kasus tersebut, termasuk menanti hasil otopsi untuk mengetahui penyebab kematian korban.
Kasus RTA seakan membuka tabir gelap di balik gemerlap Jakarta. Keluarga korban mengonfirmasi bahwa RTA masih berusia 14 tahun, jauh dari usia kerja yang layak, apalagi untuk bekerja di industri yang rentan eksploitasi, seperti spa.
Dari informasi, RTA belum genap sebulan bekerja di sebuah tempat spa di Pejaten. Sebelumnya, ia dilaporkan memiliki pengalaman bekerja di Bali. Kematiannya masih mengundang misteri. Polisi masih menyelidiki kasus tersebut.
Pascakasus ini terungkap, sejumlah pertanyaan muncul, antara lain bagaimana mungkin seorang anak berusia 14 tahun bisa bekerja di industri spa tanpa ada pengawasan?
Di mana peran dinas tenaga kerja, dinas sosial, dan aparat penegak hukum dalam mencegah eksploitasi ini terjadi? Apakah keluarganya mengetahui pekerjaan anak tersebut? Apakah anak itu korban perdagangan orang, dan pertanyaan lainnya.
Kematian RTA di tengah peringatan Hari Anak Perempuan Sedunia 2025 menjadi ironi, sekaligus tamparan keras bagi Indonesia. Apalagi, tema global tahun ini, ”The Girl I Am, The Change I Lead: Girls on the Frontlines of Crisis”, mengajak dunia untuk melihat anak perempuan sebagai agen perubahan yang berdiri di garis depan krisis.
Namun, bagaimana mungkin anak perempuan bisa menjadi penggerak perubahan jika mereka menjadi korban kekerasan, eksploitasi, dan pembunuhan? Bagaimana mereka menjadi generasi penerus jika nyawa terancam atau melayang?
Kasus RTA mengundang perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kepolisian diminta mendalami kasus ini dan mengungkap eksploitasi dan dugaan kekerasan fisik, psikis, termasuk kekerasan seksual.
Perlu didalami lagi tentang apakah anak ini mengakhiri hidup atau ada orang lain yang mendorongnya. Maka, tidak hanya hasil forensik, perlu juga menurunkan Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia.
”KPAI berharap ada pengembangan terhadap kasus ini, apakah ada anak-anak lain yang dipekerjakan. Kemudian, perlu menindak Delta Spa berikut dengan tempat spa lain yang sebelumnya anak tersebut pernah bekerja di sana, serta perlu didalami orangtua yang mengizinkan anaknya untuk bekerja,” ujar Diyah Puspitarini, anggota KPAI, Selasa (14/10/2025).
Polisi diminta mendalami soal eksploitasi anak karena mempekerjakan anak di bawah umur merupakan pelanggaran Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Ketenagakerjaan. Selain kekerasan fisik/psikis, adanya intimidasi jika akan keluar dari tempat kerja, dan harus mengganti sejumlah uang.
”Perlu didalami lagi tentang apakah anak ini mengakhiri hidup atau ada orang lain yang mendorongnya. Maka, tidak hanya hasil forensik, perlu juga menurunkan Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia,” tutur Diyah menegaskan.
Fenomena gunung es
Kasus RTA hanyalah puncak dari gunung es kekerasan yang mengancam anak perempuan di Indonesia. Sejumlah data yang dirilis berbagai lembaga menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) yang dikelola Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sepanjang tahun 2024, terdapat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak.
Mayoritas korban adalah anak perempuan sebanyak 24.999 kasus (86,7 persen) dari total kasus, dengan kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, perdagangan orang, dan penelantaran. PTSLO
Tragedi RTA bukanlah kasus tunggal. Dalam setahun terakhir, Indonesia dikejutkan oleh serangkaian kasus pembunuhan sadis terhadap anak perempuan di berbagai daerah. Hal ini menunjukkan pola kekerasan sistematis.
Pada November 2024, di Banyuwangi, Jawa Timur, seorang siswi madrasah ibtidaiyah berusia 7 tahun diperkosa dan dibunuh. Sidang perdana kasus ini baru digelar pada Oktober 2025, hampir setahun setelah kejadian.
Pada Juni 2025, di Tulang Bawang, Lampung, seorang anak perempuan berusia 10 tahun ditemukan tewas mengenaskan di bedeng PT Indolampung. Korban diduga diperkosa dan dibunuh. Pelaku sempat buron selama sebulan dan berupaya menghilangkan barang bukti.
Sementara bulan lalu, di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, seorang bocah perempuan berusia 5 tahun dibunuh dan mengalami kekerasan seksual oleh tetangganya. Jasadnya ditemukan dalam karung di sebuah kebun, di Desa Tolu Wonua, Kecamatan Mowila, Sabtu (13/9/2025).
Kasus-kasus ini menggarisbawahi pola yang mengerikan. Para pelaku justru berasal dari lingkungan terdekat korban, mulai dari keluarga sendiri, tetangga, sekolah, bahkan lingkungan tempat tinggalnya. Kekerasan yang terjadi bersifat berlapis, dari kekerasan seksual hingga pembunuhan sadis.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2022/07/21/a67dda50-f3e6-4b8b-b057-9706d54461de_png.png)
Negara harus hadir
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam keterangan pers menyatakan, peringatan Hari Anak Perempuan Sedunia 2025 memiliki makna penting. Peringatan ini sebagai pengakuan hak-hak yang dimiliki anak perempuan serta tantangan yang secara spesifik dihadapi anak perempuan.
Komnas Perempuan mengidentifikasi berbagai faktor yang membuat anak perempuan berada dalam posisi sangat rentan. Dalam sejumlah kasus, negara belum hadir memberikan perlindungan.
”Negara perlu menjamin pemenuhan dan pelindungan hak-hak anak perempuan untuk mendukung mereka sebagai penggerak perubahan,” ujar komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani.
Catatan Komnas Perempuan, sepanjang 2024, terhadap 3.681 kasus atau 18,9 persen dari total 19.460 dari kasus kekerasan di ranah personal di Indonesia merupakan kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP). Ketimpangan relasi kuasa antara anak perempuan dan orangtuanya membuat rumah belum jadi ruang yang aman bagi anak perempuan.
”Kekerasan psikis maupun paparan terhadap kekerasan yang dilakukan orangtua turut membentuk perilaku kekerasan hingga mereplikasi kekerasan dan merentankan anak perempuan untuk berhadapan dengan hukum,” ujar Devi Rahayu, komisioner Komnas Perempuan.
Belum lagi ancaman di dunia digital. Komisioner Komnas Perempuan, Irwan Setiawan, menyoroti bahwa dunia digital yang semakin mudah diakses menimbulkan dampak negatif berupa penipuan, grooming, dan pemerasan yang dapat berujung penculikan dan prostitusi.
Tak hanya itu, impitan ekonomi memaksa anak-anak dari keluarga marginal masuk ke sektor-sektor rentan, seperti industri hiburan, jasa spa, dan pekerjaan informal lainnya, tanpa adanya pengawasan yang memadai. Minimnya perlindungan negara terhadap anak-anak dari kelompok marginal membuka pintu lebar bagi terjadinya kekerasan dan eksploitasi seksual.
Hari Anak Perempuan Sedunia 2025 seharusnya menjadi momentum untuk refleksi mendalam dan komitmen baru. Bukan sekadar seremonial dan retorika kosong, melainkan titik balik menuju sistem perlindungan anak yang komprehensif, responsif, dan berpihak kepada korban.
Negara tidak boleh abai. Anak-anak perempuan Indonesia berhak hidup dalam keamanan, bermimpi tanpa ketakutan, dan tumbuh menjadi penggerak perubahan seperti yang dijanjikan dalam tema global tahun ini.
Sumber : olx99.id